Mencari Guru

Berguru agama yang paling utama adalah langsung dari sang ‘alim (orang yang berilmu). Kumpulan orang ‘alim disebut ulama, a.k.a ulama adalah bentuk jamak dari ‘alim. Istilah ulama ini sedikit mengalami pergeseran makna di sini (Indonesia)… ulama kadang merujuk kepada satu orang tertentu.

Ciri ulama, tentu saja mempunyai tingkatan ilmu yang tinggi DAN mempunyai tingkatan taqwa yang juga tinggi. Ilmunya tidak hanya khusus ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu lain yang menunjang ilmu agama tersebut, salah satunya ilmu bahasa Arab. Jangankan di Indonesia, di Arab sendiri bahasa Arab itu masih harus dipelajari secara khusus untuk bisa memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, termasuk literatur-literatur lain. Di antara ciri ketaqwaan yang sepatutnya ditunjukkan oleh para ‘alim antara lain adalah tawadhu’, tidak sombong, rendah diri, dan bijaksana menyikapi sesuatu masalah.

Ada satu gelar atau sebutan lain yang sering kita dengar, yaitu ustadz. Ustadz, secara bahasa adalah orang yang mengajar – apapun itu – baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu lain, misalnya ilmu teknik, ilmu kedokteran, ilmu biologi, dll, semua disebut ustadz. Di Arab sana (mohon dikoreksi), ustadz yang mengajar ilmu agama punya sebutan khusus, yaitu syaikh. Sementara di Indonesia, ustadz justru mejadi sebutan khusus untuk pengajar ilmu agama. Pengajar ilmu lain diberi gelar guru. Ustadz, tugas atau pekerjaannya adalah mengajarkan sesuai dengan ilmu yang dia kuasai atau yang pernah dia pelajari. Jadi, ada transfer ilmu antara ustadz dengan yang sedang belajar.

Ada lagi sebutan lain yang sering kita dengar… da’i. Da’i adalah orang yang mengajak – khususnya mengajak kepada kebaikan. Mengajak untuk beribadah, mengajak untuk mengerjakan amal shaleh, mengajak untuk menjauhi perbuatan maksiat, dan ajakan-ajakan lainnya sesuai tuntunan agama. Motedenya disebut da’wah (dakwah).

Satu lagi…. ada yang namanya muballigh. Muballigh adalah orang yang menyampaikan, baik itu menyampaikan ilmu maupun hal-hal lain yang ada di benak orang tersebut. Metode atau prosesnya disebut tabligh.

Di antara keempat sebutan di atas, hanya ulama (‘alim) yang boleh didengarkan pendapatnya ketika menyampaikan sebuah fatwa… selain itu tidak boleh. Kecuali, ada di antara yang selain ulama itu yang menyampaikan fatwa dengan mengutip perkataan dari ulama. Itu boleh. Misalnya ustadz A berkata, “Perkara ini hukumnya adalah halal menurut pendapat ulama B”. Itu boleh didengarkan. Tapi kalo ada ustadz yang bekata, “Menurut saya, perkara itu haram”. Yang itu jangan diserap dulu ilmunya. Cari konfirmasi dari ulama, atau, tanyakan langsung kepada ustadznya, apa dasarnya ustadz tersebut berkata seperti itu.

***

Nah… kira-kira seperti itu yang pernah saya dengar dari sebuah kajian beberapa waktu lalu.

Terkait masalah itu, ada keinginan saya untuk mencari ‘alim untuk bisa saya jadikan salah satu guru atau sumber ilmu, terutama ilmu agama. Dan sebagai langkah awal, tentu saja saya mencari beberapa rekomendasi di internet (harusnya ngga boleh lho! Open-mouthed smile )

Akhirnya muncullah beberapa nama, dengan berbagai aliran dan tipe karakteristik yang berbeda-beda. Konon mereka ini sudah diakui sebagai ulama di sebagian besar masyarakat. Akhirnya saya buka satu-satu profil mereka, saya baca tulisan-tulisan mereka, dan ternyata… ada hal yang mengusik saya… sebagian besar dari mereka, entah sadar atau ngga sadar, ada beberapa tulisan yang bersifat adu domba, menghasut secara halus, bahkan cenderung ke arah fitnah.. terutama yang berhubungan dengan perbedaan. Kata ‘alim A, “’allim B itu pendusta”. Kata ‘alim B, ‘’”’alim A itu kalau bicara tidak ada dasarnya”. Bahkan kadang ada jama’ahnya sendiri yang memberi cap yang kurang pantas buat mereka. Lha… Open-mouthed smile 

Walaupun beberapa rekan, teman, dan kerabat saya, kalau saya perhatikan cenderung mendukung atau mengikuti salah satu dari mereka, tapi.. kok saya pribadi kurang sreg ya.  Okelah, kalo kelimuan saya akui tingkatan ilmu mereka tinggi, mereka paham Al-Qur’an lebih dalam dari beberapa yang lain. Ilmu fiqh mereka hebat, bahasa Arab jangan ditanya, rata-rata lulusan sana (Timur Tengah). Tapi begitu melihat akhlak… kok rasanya ngga respect ya. Walaupun itu cuma sekedar tulisan.

***

Dan… setelah berselang beberapa lama… akhirnya ngga sengaja saya menemukan seorang ustadz yang beda dengan yang lain yang pernah saya lihat, namanya Adi Hidayat, Lc, Ma (semoga Allah senantiasa merahmati beliau). Mungkin banyak yang serupa dengan beliau, tapi saya sendiri baru kali ini melihat yang seperti ini. Kelihatan jelas jika ustadz Adi adalah orang yang berilmu, mengamalkan ilmunya, dan satu catatan penting… tawadhu’. Beliau sengaja tidak “eksis” di dunia maya, tapi jama’ahnya banyak yang meng-eksis-kan beliau dengan mengupload video-video kajiannya, maupun menuliskan ulang ilmu-ilmu yang telah beliau sampaikan.

Dari beliau, saya jadi termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi. Untuk sementara buku-buku sudah terkumpul…. tapi masih mulus semua… hiks Crying face

Unpredictable

Waktu menjemput Bilal (7 th) di sekolahnya, kali ini ngga seperti biasanya. Saya selalu tiba di sekolahnya pas jam keluar sekolah. Dan setiap selesai sekolah, Bilal selalu langsung menunggu di halaman depan sekolahnya. Jadi, begitu saya sampai, saya tinggal “nongol” di depan pagar, dia langsung lihat saya, dan dia keluar.

Nah… kemarin… saya sudah tiba kira-kira tepat waktu. Teman-teman sekelasnya sudah pada berkeliaran di halaman depan. Tapi… Bilal ngga kelihatan. 2 Kali saya bolak-balik di depan pagar itu sambil nyari-nyari Bilal tapi ngga kelihatan.

Akhirnya saya cari tempat parkir, turun, dan masuk langsung ke halaman sekolah. Nihil. Saya cek lagi ke dalam, ke ruang kelas… udah kosong. Saya ke halaman belakang, melewati GOR yang sekilas saya intip, ada sekumpulan anak sedang main futsal di dalamnya. Bilal ngga mungkin di sana, dia ngga suka futsal.

Di halaman belakang juga ngga ada. Di toilet ngga ada. Udah mulai mau panik.

Sambil jalan balik ke depan, saya lewati GOR itu lagi… kali ini saya ngga ngintip. Tapi iseng masuk ke dalam. Eh!! Bilal ada di sana! Open-mouthed smile Open-mouthed smile Lagi berdiri siap-siap pulang.

Dia juga langsung lihat saya trus langsung kabur pulang ninggalin teman-temannya.

Di sini saya heran… Bilal main futsal??? Sejak kapan? Di kelas 1 dulu dia ikut ekskul futsal, tapi akhirnya berhenti.. karena memang ngga suka… atau ngga bisa Open-mouthed smile. Tapi kali ini, kok dia mau main futsal ya?

Akhirnya saya tanya, “Bilal tadi main futsal?”

“Iya”, jawabnya.

“Kok bisa? Bukannya Bilal ngga bisa main futsal?”, tanyaku lagi.

“Iya. Aku jadi wasitnya,”….. jawabnya polos.

Oke… case closed. Teka-teki terpecahkan.

#Goodboy!

#antimainstream

Masjid Diary – File 001 : Sandalnya Mas

Pernah lihat pemandangan seperti ini?

Ada rak sepatu, tapi sandal & sepatu berserakan di luar. Trus, apa gunanya rak di simpan di situ??

Saya lupa ambil fotonya, tapi rak itu masih kosong!

Mungkin ada yang mikir, “ah.. masalah gitu doang dibahas…

Untuk sementara, kesimpulan saya adalah bahwa kebanyakan pengunjung musholla/mesjid ini termasuk kategori:

  • Malas gerak. Malas buka pintu rak, bungkuk ngambil sepatu, masukin ke dalam rak. Lama dan buang energi. Lebih cepat kalo tinggal lepas sambil jalan ngeluyur… Done!
  • Ikut-ikutan. Kalo udah ada satu yang melakukan, itu hukumnya menjadi Sah atau Mubah, jadi boleh diikuti. Ngga cuma di sini, tapi hampir di mana-mana.
  • Malas baca. Udah dikasih rak, dikasih petunjuk, tapi ngga dikerjakan juga. Ini baru satu petunjuk sederhana. Bagaimana dengan petunjuk hidup dalam satu kitab?

Pesan saya buat yang baca tulisan ini:

“Semoga kecelakaan menimpa siapa saja yang udah tau ada rak yang masih kosong tapi masih menyimpan sandal/sepatu di luar, termasuk diri saya sendiri.”

Amin.

Lebay amat doanya, bro? Biasa aja kali.

Yaaa… bayangin aja kalo yang digituin adalah rumah atau fasilitas milik anda misalnya. Anda udah susah payak bikin peraturan biar suasana rapi, nyaman, bersih, tapi masih dilanggar juga. Fasilitas ini bukan milik siapa-siapa lho.. bukan milik pengelola gedung… bukan milik pengurus. Ini fasilitas buat tempat bersujud… masjidun… tempat sholat… musholla… spesial milik Allah.

Mendelegasikan Pekerjaan

Mendelegasikan pekerjaan adalah bukan hal yang gampang. Beda antara memerintah, menyuruh, atau minta tolong, dengan mendelegasikan. Dan konon katanya untuk menjadi pemimpin yang sukses, harus bisa mendelegasikan pekerjaan apa saja. Bagi beberapa orang tertentu – seperti saya – susah, bro…

Banyak alasannya… salah satu penghalang terbesar adalah… ekspektasi yang tinggi (paling ngga sesuai dengan harapan kita), sementara kita ngga yakin dengan kemampuan orang yang akan diserahi tugas. Ini salah besar.

Sedangkan alasan kedua yang juga kadang jadi pikiran adalah, adanya sesuatu yang harus dikorbankan waktu menyerahkan suatu tugas. Misalnya, butuh waktu dan tenaga buat briefing lagi, bahkan mungkin butuh extra cost kalo memang kasusnya adalah memberikan tugas kepada orang baru.

Saya baru saja mengalami. Jadi… ceritanya… saking banyaknya load pekerjaan, saya kepikiran untuk menyerahkan satu-dua pekerjaan yang ngga bisa saya kerjakan dengan optimal (karena belum tau triknya, atau belum ketemu sense-nya). Sementara banyak orang di luar sana yang punya skill yang saya butuhkan. Saya lebih spesifik saja… desain eksterior sebuah gedung. Pekerjaan itu termasuk salah satu dari berbagai rangkaian pekerjaan desain gedung.

Kedengaran sepele, cuma desain eksterior aja.. Smile Tapi ngga semua orang bisa bagus desainnya, termasuk saya, hehe. Akhirnya saya operlah pekerjaan itu. Saya cari freelancer, saya kasih penawaran harga, dan setelah cocok kami mulai bekerja. Dan…. luar biasa! Smile Hasilnya di luar dugaan saya. Maksud saya, saya sudah punya konsep dan ide tentang eksteriornya, saya deskripsikan dalam bentuk tulisan, dan si freelancer ini mampu mengeksekusinya dengan nyaris sempurna!! Model 3D yang diberikan langsung match dengan poin-poin yang saya berikan ke dia.  Dan ajaibnya lagi, dia mengerjakannya hanya 2 hari Open-mouthed smile Pekerjaan yang kalo saya lakukan sendiri bisa 2 minggu. Hehehe…

Akhirnya pikiran saya mulai sedikit terbuka. Saya mulai memetakan pekerjaan-pekerjaan yang bisa saya delegasikan ke orang lain. Bukannya melepas beban. Tanggung jawab tetap aja, karena saya tetap harus mereview pekerjaan tersebut. Yang paling penting dari delegasi pekerjaan adalah, optimalisasi. Pekerjaan yang terhambat kadang gara-gara hal sepele – bingung mau mengerjakan yang mana – akhirnya pelan-pelan bisa terurai.

Fiuh.. semoga… bisa selesai dengan hasil memuaskan.